ARTI
FILOSOFI PANCASILA
Dosen
Pengampu :
Dra.
Muhertatiek, M.Si.
OLEH
:
Armando
G.Orlando Nguru 160403060029
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kenyataan hidup berbangsa dan bernegara bagi kita
bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari sejarah masa lampau.
Demikianlah halnya dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia,termasuk di dalamnya Pancasila sebagai dasar negaranya. Sejarah masa
lalu dengan masa kini dan masa mendatang merupakan suatu rangkaian waktu yang
berlanjut dean berkesinambungan.Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam
interpretasi dan manipulasi politik
sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan
yang berlindung di balik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Bahkan pernah
diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya sebagai Dasar dan Filsafat
Negara Republik Indonesia.Bagi bangsa Indonesia tidak ada keraguan sedikitpun
mengenai kebenaran dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar
Negara.
Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
dapat menelusuri sejarah kita di masa lalu dan coba untuk melihat tugas-tugas
yang kita emban ke masa depan,yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya
mengahayati dan mengamalkan Pancasila.Sejarah dibelakang telah dilalui dengan
berbagai cobaan terhadap Pancasila,namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa
Pancasila yang berakar di bumi Indonesia
senantiasa mampu mengatasi percobaan nasional di masa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat
pelajaran sangat berharga bahwa selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga
belum kita amalkan secara semestinya. Penghayatan
adalah suatu proses batin yang sebelum dihayati memerlukan pengenalan dan
pengertian tentang apa yang akan dihayati itu.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1.
Hakikat
Pengertian Filsafat?
1.2.2.
Bagaimana
Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila?
1.2.3.
Apa
tiga Dasar Kesatuan Sila-sila Pancasila?
1.2.4.
Bagaimana
hubungan antara Sila-sila yang saling mengisi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan
Filosofi Pancasila
2.1.1.
Pengertian
Filsafat
Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau
dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani
“philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata
philosophia tersebut berakar pada kata “philos”
(pilia,
cinta) dan “sophia”
(kearifan). Berdasarkan pengertian
bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga
berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta
kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat
berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya
bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh
Herakleitos. Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai
Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai kebenaran.
2.1.2. Bidang Lingkup Pengertian Filsafat.
1.
Filsafat
sebagai produk, mencakup pengertian
a.
Pengertian
filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan,ilmu,konsep
dari para filsuf pada zaman dahulu,teori, sistem tertentu yang merupakan hasil
dari proses berfilsafat dan mempunyai cirri tertentu.
b.
Filsafat
sebagai jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil aktivitas
berfilsafat. Dalam hal ini proses pemecahan masalah persoalanfilsafat ini
diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam pengertian filsafat sebagai
proses yang dinamis)
2.
Filsafat
sebagai suatu proses
Yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk
suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan
menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek
permasalahannya.Dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan sekumpulan
dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu sistem nilai
tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat,suatu proses yang
dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.
2.1.3.
Cabang-cabang
Filsafat dan Aliran-alirannya
a.
Metafisika : yang berkaitan dengan persoalan tentang
hakikat yang ada.
b.
Epistomologi:
yang berkaitan dengan persoalan hakihat pengetahuan
c.
Metodologi : yang
berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah.
d.
Logika
: yang berkaitan dengan persoalan penyimpulan
e.
Etika : yang berkaitan dengan persoalan
moralitas.
f.
Estetika :
yang berkaitan dengan persoalan keindahan.
2.2. Rumusan
Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai suatu Sistem
Pancasila yang
terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian
sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan ,saling
bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan satu
kesatuan yang utuh.
2.2.1. Kesatuan sila-sila Pancasila.
a.
Kesatuan
yang bersifat Organis
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk
tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri –sendiri
terlepas dari sila-sila lainnya serta di antara sila satu dan lainnya tidak
saling bertentangan.
Unsur-unsur hakikat manusia merupakan satu kesatuan
organis dan harmonis.Setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling
berhubungan. Oleh karena pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia “monoplurasi”yang merupakan satu kesatuan
organis maka sila-sila pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis
pula.
b.
Bersifat
Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Dalam susunan hierarkis dan piramidal ini, maka
Ketuhanan Yang Mahaesa menjadi basis Kemanusiaan,persatuan Indonesia,kerakyatan
dan keadilan sosial.Sebaliknya Ketuhanan Yang Mahaesa adalah Ketuahanan yang
berkemanusiaan,yang membangun,memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia,yang berekarkyatan dan berkeadilan sosial,demikian selanjutnya
sehningga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Secara
ontologis (hakikat) sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkis
dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan
adalah ada karena dirinya sendiri,Tuhan
sebagai kausa prima. Oleh
karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan
atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuha (sila 1). Adapun manusia sebagai
subjek pendukung pokok Negara ,karena Negara adalah lembaga kemanusian,Negara
adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia
(sila 2). Maka
Negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu
(sila
3).Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka
rakyat pada hakiatnya merupakan unsur Negara di samping wilayah pemerintah.
Rakyat adalah sebagai totalitas Individu-individu dalam Negara yang berasatu
(sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup
bersama atau dengan kata lain keadilan sosial (sila 5).Pada hakikatnya sebagai
tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut Negara
(
Notonagoro,1980:61 dan 1975:52,57).
2.3. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu
Sistem Filsafat
2.3.1.
Dasar
Ontologis Pancasila
Dasar-dasar
ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu benar-benar
ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan
filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan,
isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain,
pengungkapan secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas
Pancasila secara filosofis. Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis
Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia
sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal
yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan
kodrat raga dan jiwa, jasmani dan
rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72).
Ciri-ciri
dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia yang
bersifat dwi-tunggal. Ada hubungan yang bersifat dependen antara Pancasila dengan manusia Indonesia.
Artinya, eksistensi, sifat dan kualitas Pancasila amat bergantung pada manusia
Indonesia.
Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi
lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad Yamin meskipun
menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak sampai memberikan nama. Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
didalamnya duduk Soekarno sebagai anggota, menggunakan istilah Pancasila yang
diperkenankan Soekarno menjadi nama resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya
terdiri dari lima sila,tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan seperti
rumusan PPKI yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat Pembukaan
UUD 1945.
Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar
negara Indonesia adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1
Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, bukan
Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada dalam Piagam Jakarta,
melainkan yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul
pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada
empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk
menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu sebab berupa materi (causa
material),sebab berupa bentuk (causa formalis),sebab berupa tujuan (causa finalis),dan
sebab berupa asal mula karya (causa eficient).
(Notonagoro,1983: 25). Lebih jauh Notonagoro
menjelaskan beberapa causa itu
seperti berikut.Pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa
materialis) terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
Kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya
(causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro,
1983: 25-26).
2.3.2.
Dasar Epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar
pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan
penyederhanaan terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia
dengan lingkungan yang
heterogen, multikultur, dan multietnik dengan cara
menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia (Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah yang dihadapi menyangkut keinginan
untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman.
Pancasila itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan
dialami masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan
Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan hidup yang
dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari
aspek epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita
yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila
bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila dibangun dan
berakar pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan yang
dimiliki.
Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila
merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas
alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta
sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
hidup dan kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat
dengan dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila berpijak pada
hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97).
Secara lebih khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya
merupakan abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh
masyarakat yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan
adanya upaya masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan
diri menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang
dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad
IV Masehi di samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya
dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud
berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai demokrasi yang dibawa
dari Barat. Berdasarkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan bahwa
secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya
tradisional dan modern, budaya asli dan campuran.
Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan
epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari
wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta
kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan sifatnya
yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran
masyarakat tradisional dan modern.
2.3.3.
Dasar
Aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas
nilai.Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia
Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai yang ada dengan
sendirinya (given value) melainkan nilai
yang diciptakan (created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam
Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar
belakangnya.
Nilai berhubungan dengan kajian mengenai apa yang
secara intrinsik, yaitu bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau
disebut instrumental, yaitu bernilai
sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran hedonisme yang
menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada utilitarianisme adalah nilai
manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila mengandung nilai,baik intrinsik maupun ekstrinsik
atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara
nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar
Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV
Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai modern saat
belajar ke negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai
nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini
yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena
sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia
Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung
imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara
bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai
nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia,
melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam
mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang
berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan
yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan
idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila
Pancasila berisi nilai yang sudah
dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping
mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai
idealitas, yaitu nilai yang diinginkan
untuk dicapai.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang
terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita,
harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya.
Namun, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal menjadi das Sollen bangsa
Indonesia, sebenarnya diangkat dari
kenyataan riil yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam
adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002: 129),
Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan
Sein im Sollen,artinya Pancasila merupakan harapan, cita-cita,
tapi sekaligus adalah kenyataan bagi
bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu
tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai
suatu substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau
kesatuan organik
(organic whole).
Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan
satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan
secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang
lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia itu akan memberikan pola (patroon)
bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia
(Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro (1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari
Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya
terdapat dalam pikiran atau angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan
cita-cita bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau dasar kerohanian negara.
Tidak berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada
hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia,
satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa dibantah.
2.4.
Hubungan
kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling mengisi
1.
Sila
pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia
2.
Sila
kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
3.
Sila
ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
4.
Sila
keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,
adalah kerakyatan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5.
Sila
kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975:
43-44).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1.
Filsafat
Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa
Indonesia yang dianggap, dipercaya dan
diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling
benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa
Indonesia.
3.1.2.
Cabang-cabang
Filsafat
1.
Metafisika:
cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada
2.
Epistomologi:cabang
filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan.
3.
Aksiologi:cabang
filsafat yang menelusuri hakikat nilai.
4.
Logika:
cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional.
3.1.3.
Tiga
dasar Filsafat Pancasila
1.
Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
mono-pluralis, dwi-tunggal, sebagai makhluk invidu dan sosial
2.
Epistemologi
Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila.
3.
Aksiologi
terkait erat dengan penelaahan atas nilai.
3.1.4. Nilai setiap sila-sila Pancasila memiliki hubungannya yang erat antara
masing-masing kelima sila tersebut, dan setiap sila itu saling menjiwai serta
tidak ada saling bentrok atau bertabrakan makna atau arti.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus,
Lorens, 1996, Kamus Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta.
Kaelan,
2000, Pendidikan Pancasila,
Paradigma, Yogyakarta.
_____,2002,Filsafat
Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Paradigma,Yogyakarta.
Notonagoro, 1967, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila;
Pengertian Inti-Isi Mutlak Daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok
Pangkal Pelaksanaan Secara Murni Dan Konsekuen, Cetakan Kedua, Pancuran
Tudjuh, Jakarta.
_________,
1983, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan Kelima, Bina Aksara,
Jakarta.
Smart,
J.J.C., and Bernard Williams, 1973, Utilitarianism;
For and Against, Cambridge University Press, United Kingdom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar