Selasa, 08 November 2016

ARTI FILOSOFI PANCASILA



ARTI FILOSOFI PANCASILA
Dosen Pengampu :
Dra. Muhertatiek, M.Si.





OLEH :

                       
   Armando G.Orlando Nguru         160403060029







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Kenyataan hidup berbangsa dan bernegara bagi kita bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari sejarah masa lampau. Demikianlah halnya dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia,termasuk di dalamnya Pancasila sebagai dasar negaranya. Sejarah masa lalu dengan masa kini dan masa mendatang merupakan suatu rangkaian waktu yang berlanjut dean berkesinambungan.Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik  sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Bahkan pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya sebagai Dasar dan Filsafat Negara Republik Indonesia.Bagi bangsa Indonesia tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenaran dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar Negara.
Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat menelusuri sejarah kita di masa lalu dan coba untuk melihat tugas-tugas yang kita emban ke masa depan,yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya mengahayati dan mengamalkan Pancasila.Sejarah dibelakang telah dilalui dengan berbagai cobaan terhadap Pancasila,namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila yang berakar di  bumi Indonesia senantiasa mampu mengatasi percobaan nasional di masa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat pelajaran sangat berharga bahwa selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga belum kita amalkan secara semestinya. Penghayatan adalah suatu proses batin yang sebelum dihayati memerlukan pengenalan dan pengertian tentang apa yang akan dihayati itu.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.                Hakikat Pengertian Filsafat?
1.2.2.                Bagaimana Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila?
1.2.3.                Apa tiga Dasar Kesatuan Sila-sila Pancasila?
1.2.4.                Bagaimana hubungan antara Sila-sila yang saling mengisi ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Landasan Filosofi Pancasila
2.1.1.      Pengertian Filsafat
     Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos”  (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan  pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos. Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai kebenaran.
2.1.2. Bidang Lingkup Pengertian Filsafat.
1.      Filsafat sebagai produk, mencakup pengertian
a.       Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan,ilmu,konsep dari para filsuf pada zaman dahulu,teori, sistem tertentu yang merupakan hasil dari proses berfilsafat dan mempunyai cirri tertentu.
b.      Filsafat sebagai jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil aktivitas berfilsafat. Dalam hal ini proses pemecahan masalah persoalanfilsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis)
2.      Filsafat sebagai suatu proses
Yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya.Dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan sekumpulan dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu sistem nilai tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat,suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.
2.1.3.      Cabang-cabang Filsafat dan Aliran-alirannya
a.         Metafisika   : yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat yang ada.
b.        Epistomologi: yang berkaitan dengan persoalan hakihat pengetahuan
c.         Metodologi    : yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah.
d.        Logika           : yang berkaitan dengan persoalan penyimpulan
e.         Etika              : yang berkaitan dengan persoalan moralitas.
f.         Estetika          : yang berkaitan dengan persoalan keindahan.
2.2.   Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan ,saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh.

2.2.1. Kesatuan sila-sila Pancasila.
a.    Kesatuan yang bersifat Organis
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri –sendiri terlepas dari sila-sila lainnya serta di antara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan.
Unsur-unsur hakikat manusia merupakan satu kesatuan organis dan harmonis.Setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan. Oleh karena pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia “monoplurasi”yang merupakan satu kesatuan organis maka sila-sila pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis pula.
b.    Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Dalam susunan hierarkis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Mahaesa menjadi basis Kemanusiaan,persatuan Indonesia,kerakyatan dan keadilan sosial.Sebaliknya Ketuhanan Yang Mahaesa adalah Ketuahanan yang berkemanusiaan,yang membangun,memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia,yang berekarkyatan dan berkeadilan sosial,demikian selanjutnya sehningga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Secara ontologis (hakikat) sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri,Tuhan  sebagai kausa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuha (sila 1). Adapun manusia sebagai subjek pendukung pokok Negara ,karena Negara adalah lembaga kemanusian,Negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia
(sila 2). Maka Negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu
(sila 3).Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakiatnya merupakan unsur Negara di samping wilayah pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas Individu-individu dalam Negara yang berasatu (sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan kata lain keadilan sosial (sila 5).Pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut Negara
( Notonagoro,1980:61 dan 1975:52,57).

2.3.    Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
2.3.1.      Dasar Ontologis Pancasila
Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis. Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak,  yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa,  jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72).
Ciri-ciri dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia yang bersifat  dwi-tunggal.  Ada hubungan yang bersifat dependen  antara Pancasila dengan manusia Indonesia. Artinya, eksistensi, sifat dan kualitas Pancasila amat bergantung pada manusia Indonesia.        

Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya  Soepomo dan Muhammad Yamin meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak sampai  memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya duduk Soekarno sebagai anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkenankan Soekarno menjadi nama resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila,tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara Indonesia adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang  BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada dalam Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara,  yaitu sebab berupa materi (causa material),sebab berupa bentuk (causa formalis),sebab berupa tujuan (causa finalis),dan sebab berupa asal mula karya (causa eficient).
(Notonagoro,1983: 25). Lebih jauh Notonagoro menjelaskan beberapa  causa  itu  seperti berikut.Pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis) terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya. Kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro, 1983: 25-26). 

2.3.2.       Dasar Epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyederhanaan terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang
heterogen, multikultur, dan multietnik dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia (Salam, 1998: 29). 
Masalah-masalah yang dihadapi menyangkut keinginan untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman. Pancasila itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan dialami masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan hidup yang dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia. 
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan yang dimiliki. 
Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila berpijak pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial. 
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad  IV Masehi di samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasarkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan bahwa secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya asli dan campuran. 
Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran masyarakat tradisional dan modern.

2.3.3.      Dasar Aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai.Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai yang ada dengan sendirinya  (given value) melainkan nilai yang diciptakan (created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai berhubungan dengan kajian mengenai apa yang secara intrinsik, yaitu bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau disebut instrumental, yaitu bernilai  sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran hedonisme yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada utilitarianisme adalah nilai manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila mengandung nilai,baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan  para pejuang kemerdekaan lainnya  yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia. 
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi  nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai idealitas,  yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya diangkat  dari kenyataan riil yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002: 129), Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan
 Sein im Sollen,artinya Pancasila merupakan harapan, cita-cita, tapi sekaligus adalah    kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik
(organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia itu akan memberikan  pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia
(Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro (1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya terdapat dalam pikiran atau angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan cita-cita bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau dasar kerohanian negara. Tidak berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa dibantah.
2.4.      Hubungan kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling mengisi

1.    Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.    Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/  perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
3.    Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4.    Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5.    Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975:  43-44).

BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
3.1.1.           Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya  dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
3.1.2.           Cabang-cabang Filsafat
1.             Metafisika: cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada
2.             Epistomologi:cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan.
3.             Aksiologi:cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai.
4.             Logika: cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional.
3.1.3.           Tiga dasar Filsafat Pancasila
1.    Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis, dwi-tunggal, sebagai makhluk invidu dan sosial
2.    Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila.
3.    Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai.
3.1.4.  Nilai setiap sila-sila Pancasila  memiliki hubungannya yang erat antara masing-masing kelima sila tersebut, dan setiap sila itu saling menjiwai serta tidak ada saling bentrok atau bertabrakan makna atau arti.











DAFTAR PUSTAKA

       Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta.
       Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
  _____,2002,Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,Yogyakarta.
  Notonagoro,  1967,  Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila; Pengertian Inti-Isi Mutlak Daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal Pelaksanaan Secara Murni Dan Konsekuen, Cetakan Kedua, Pancuran Tudjuh, Jakarta.
  _________, 1983,  Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan Kelima, Bina Aksara, Jakarta.
  Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973, Utilitarianism; For and Against, Cambridge University Press, United Kingdom.